Jakarta,– Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri (AT) bekerja sama dengan Dinas Pendidikan wilayah Bogor mengadakan kegiatan Sosialisasi Pencegahan Paham Radikalisme dan Intoleransi (IRET) di lingkungan sekolah. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan peran guru dalam mendeteksi dan mencegah penyebaran paham radikalisme di kalangan siswa.
“Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk upaya Densus 88 untuk menunjukkan bahwa selain memiliki sisi militan dalam menangani aksi teror, Densus 88 juga memiliki sisi humanis,” ujar AKBP Dofir, perwakilan dari Densus 88 AT, dalam sambutannya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sekolah menjadi salah satu tempat yang rentan terhadap penyebaran paham radikalisme. Hal ini dikarenakan siswa masih berada dalam tahap perkembangan dan mudah terpengaruh oleh informasi yang mereka terima.
“Oleh karena itu, perlu adanya sinergi antara Densus 88 dan seluruh instrument penyelenggara sekolah untuk menangkal paham radikalisme di lingkungan sekolah,” terang AKBP Dofir.
Ia menambahkan, perkembangan penyebaran paham IRET saat ini sangat cepat, terutama melalui media sosial. Konten-konten radikalisme yang beredar di media sosial dapat dengan mudah diakses oleh siswa dan dapat memengaruhi pemikiran mereka.
“Guru memiliki peran penting dalam melakukan deteksi dini terhadap penyebaran paham radikalisme di sekolah,” kata AKBP Dofir.
“Oleh karena itu, melalui kegiatan ini, kami ingin mengajak para guru untuk menjadi agen pencegahan di sekolah. Dengan edukasi tentang paham IRET ini, diharapkan guru dapat melakukan deteksi dini dan mencegah penyebaran paham radikalisme di lingkungan sekolahnya masing-masing,” imbuhnya.
Lebih lanjut,Febri Ramadhani, seorang mantan deportan dari Suriah, menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan Sosialisasi Pencegahan Paham Radikalisme dan Intoleransi (IRET) yang diselenggarakan oleh Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri (AT) dan Dinas Pendidikan wilayah Bogor.
Febri menceritakan pengalamannya selama berada di Suriah dan mengungkapkan kondisi yang sebenarnya di negara tersebut. Ia mengatakan bahwa apa yang ada di Indonesia dengan sistem pemerintahan yang berjalan, jauh lebih baik karena Indonesia merupakan negeri yang damai dan tidak ada paksaan untuk melakukan apapun.
“Di sana (Suriah), tidak ada toleransi, tidak ada demokrasi, dan semua dipaksa untuk mengikuti aturan yang ada,” ungkap Febri.
Ia pun mengajak seluruh guru untuk membentengi muridnya dari paham IRET, karena paham ini menyerang ideologi dan sulit untuk disembuhkan.
“Guru memiliki peranan penting untuk menangkal paham radikal di lingkungan sekolah,” kata Febri.
“Penyebaran paham IRET mengikuti perkembangan zaman, sehingga guru juga perlu mengetahui pola penyebarannya. Guru harus menjadi agen pencerah bagi para murid dan memberikan edukasi tentang bahaya paham radikalisme,” imbuhnya.